JOURNAL
MENGEMBALIKAN BUDAYA UNTUK MENINGKATKAN MARTABAT BANGSA
OLEH :
Deddy Pandji Santosa
ABSTRAK
Apabila kita membahas mengenai keterpurukan bangsa saat ini,sesungguhnya
itu dimulai sejak masuknya bangsa Belanda lebih kurang 3,5 abad yang lalu untuk
menjajah negeri ini walaupun awalnya tidak ada maksud untuk itu,secara
sistematis dan perlahan lahan terjadi proses pembodohan, penghancuran identitas
diri ,seperti bahasa ,budaya , adat istiadat,dll.
Hal ini menggiring
pertanyaan : Apakah tesis Samuel P. Huntington mengenai the clash of
civilsation sudah melanda Indonesia ?
Apakah Indonesia masih dapat bertahan hidup (survival) sebagai suatu
Negara bangsa ? Apakah Indonesia masih akan eksis dimasa mendatang ?
Sesuai dengan kesepakatan bersama, landasan pengembangan kebudayaan
nasional adalah nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tertuang dalam Pancasila.
Pancasila merupakan nilai-nilai inti (core values) yang membentuk konfigurasi
yang saling terkait dan melengkapi sehingga menjadi etos budaya bangsa. Kalau
telah dihayati oleh seluruh masyarakat, etos kebudayaan yang berintikan kelima
nilai luhur Pancasila akan berfungsi
sebagai kerangka acuan masyarakat untuk menghadapi tantangan jaman, baik
yang berasal dari dalam masyarakat Indonesia maupun yang berasal dari luar.
Keanekaragaman faktor sosial budaya di Indonesia harus dipahami sebagai
potensi yang pemanfaatannya belum optimal dalam proses pembangunan masyarakat.
Padahal faktor sosial budaya lokal merupakan modal sosial yang besar yang telah
tumbuh berkembang secara turun temurun yang hingga kini masih kuat berakar
dimasyarakat.
Aktualisasi faktor sosial
budaya lokal menjadi masahalah yang strategis untuk didiskusikan kembali.
Lebih-lebih bila dikaitkan dengan keadaan di Indonesia yang berada dalam proses
demokrasi dan reformasi disegala bidang pembangunan. Ketika Indonesia mengalami
keterpurukan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, strategi pembangunan
yang berpusat pada rakyat agaknya membutuhkan perubahan yang sangat mendasar
dari pendekatan yang caritis atau residual menjadi faktor pemberdayaan
masyarakat.
Kata Kunci : Budaya, Sosial Indonesia, Pemberdayaan
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ada pepatah yang mengatakan” Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak
pernah melupakan sejarah”,ironis
memang karena hal itu terjadi pada bangsa Indonesia saat ini. Fenomena tersebut
dengan jelas dapat kita lihat dengan kasat mata terutama dikalangan anak anak
muda yang seharusnya sebagai penerus bangsa,mereka hampir sebagian besar sudah
melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Kalau kita melihat kebelakang pada
masa kejayaan kerajaan Majapahit,bangsa Indonesia dengan wilayah nusantaranya
itu meliputi sampai ke Madagaskar, contoh lain pada masa kerajaan kerajaan pada
beberapa abad yang lampau ,sebelum dunia luar memiliki teknologi yang canggih
,bangsa Indonesia sudah mampu membuat bangunan yang monumental salah satunya
ialah candi Borobudur,dimana teknologi tercanggih saat inipun belum mampu
mengatasi/ menditeksi dan menemukan cara untuk merenovasi dan memperbaiki
kerusakannya, ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada masa itu sudah
memiliki teknologi yang canggih,yang didasari kekuatan dan kecerdasan
spiritual.
Apabila kita membahas mengenai
keterpurukan bangsa saat ini,sesungguhnya itu dimulai sejak masuknya bangsa
Belanda lebih kurang 3,5 abad yang lalu untuk menjajah negeri ini walaupun
awalnya tidak ada maksud untuk itu,secara sistematis dan perlahan lahan terjadi
proses pembodohan, penghancuran identitas diri ,seperti bahasa ,budaya , adat
istiadat,dll.
Dimulai pada tahun 1908 kesadaran
bangsa Indonesia mulai terusik dengan munculnya berbagai macam pergerakan
pergerakan dalam rangka munculnya rasa kebersamaan, rasa sependeritaan dari
situlah awal munculnya kebangkitan nasional.
Pergerakan itu terus berlanjut, pada
tahun 1928 muncul kesamaan pandangan dari para pemuda seluruh nusantara untuk
menyatukan Indonesia menjadi satu bangsa yang tidak tercerai berai yang
kemudian lebih dikenal dengan lahirnya Sumpah Pemuda.
Puncaknya dari pergerakan bangsa yang
sekian lama merasa tertindas,adalah dengan memproklamirkan diri menjadi bangsa
yang merdeka dan berdaulat dan mendapatkan pengakuan dunia internasional,pada
tanggal 17 Agustus 1945 yaitu dengan mendirikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan dari situlah awal dimulainya kebangkitan bangsa dari
keterpurukan sebagai bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka yang bisa
menentukan nasibnya sendiri.
Dunia terus berputar, masa terus
berganti, bangsa Indonesia mengalami banyak tantangan dan cobaan didalam
menjalani kehidupannya, dari masa pemerintahan Presiden Soekarno yaitu masa
masa pemulihan setelah sekian lama dijajah kemudian memasuki masa orde baru
dibawah pemerintahan Presiden Soeharto,selama 32 tahun terasa perobahan didalam
struktur masyarakat melalui Repelita nya,meningkatnya kegiatan pembangunan
disegala bidang kehidupan,melalui pembangunan politik, ekonomi, sosial, budaya
, keamanan dapat dirasakan pada saat itu. Bangsa Indonesia sudah bisa
disejajarkan dengan bangsa bangsa lain di dunia, bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang disegani di kawasan asia terutama lagi di asia tenggara, Indonesia
menjadi Negara pengekspor minyak dan gas ,dan ekspor hasil kekayaan bumi
lainnya,Indonesia menjadi termasuk Negara yang sedang berkembang dan memasuki
masa era tinggal landas.
Dengan adanya gerakan reformasi pada
tahun 1998 dan setelah 100 tahun kebangkitan nasional semuanya hanya tinggal
kenangan, bangsa Indonesia dari bangsa/Negara yang sedang berkembang berubah
menjadi bangsa/Negara yang sedang terpuruk, dari awalnya memasuki era tinggal
landas menjadi masuk ke era tinggal di landasan, dari Negara pengekspor menjadi
Negara pengimpor dan menjadi
Negara yang sangat tergantung kepada
bantuan Negara lain,semua bidang, sektor kehidupan semuanya serba kesulitan,
bahkan bidang olah raga saja bisa ketinggalan jauh oleh Negara yang baru
merdeka seperti Vietnam,dan yang lebih menghawatirkan lagi adalah adanya tanda
tanda perpecahan sebagai bangsa sudah mulai terasa, parselisihan dimana mana
bentrokan dengan kekerasan dengan banyak memakan korban terjadi dibanyak
tempat.
Belakangan
ini konflik timbul kembali kepermukaan dengan berbagai manifestasinya seperti
protes, kritik, hujat-menghujat dalam bentuk wacana, unjuk rasa, bahkan
tuntutan merdeka atau separatism. Bentuk konflik sosial ini semakin kompleks,
apalagi jika mengingat struktur Negara Indonesia yang paradoksal dengan wilayah
negaranya sangat luas dan memiliki budaya dan identitas primordialnya yang
sangat beragam.
Bainus (2001:19) menyatakan bahkan dalam kancah
internasional, kondisi Indonesia telah mencitrakan Indonesia sebagai Negara
yang cukup berpotensi untuk mengikuti jejak keruntuhan Uni Sovyet dan
Yugoslavia. Hal itu cukup terbukti dengan lepasnya Timor-Timur, meskipun secara
historis daerah tersebut bukan merupakan bagian wilayah Negara kolonial yang
sama (Hindia Belanda). Terpuruknya citra Indonesia ini semakin mengemuka
bersamaan dengan memburuknya upaya pemerintah dalam menangani pemulihan
kehidupan ekonomi, politik, sosial dan beragama di negeri ini.
Hal ini menggiring pertanyaan : Apakah tesis Samuel P.
Huntington mengenai the clash of
civilsation sudah melanda Indonesia ?
Apakah Indonesia masih dapat bertahan hidup (survival) sebagai suatu Negara bangsa ? Apakah Indonesia masih akan
eksis dimasa mendatang ?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut muncul seiring dengan mengemukanya beberapa realitas yang harus
dihadapi bangsa Indonesia seperti kemapanan ekonomi yang belum terlihatnya
tanda-tanda tercapai, kestabilan politik yang belum terlihatnya indikasi untuk
membaik. Bahkan kini yang paling mendapat sorotan tajam adalah kerentanan
terhadap konflik suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), agama merupakan
faktor yang paling dominan untuk menjadi penyebab terganggunya keutuhan bangsa.
Ada pertanyaan yang belum terjawab,bisakah bangsa yang tadinya sebagai bangsa yang besar keluar
dari keterpurukan ini dan kembali menjadi bangsa yang diperhitungkan oleh
bangsa bangsa lain di dunia?.Bagaimana jalan keluarnya?.
II. PERMASALAHAN
2.1. Analisa
tentang situasi Kebudayaan Indonesia yang kini sedang berlangsung
·
Kontradiksi
antara asumsi/konsepsi moral budaya Pancasila dengan kenyataan
·
Kemunafikan
disemua lapisan
·
Lemahnya
kreativitas
·
Lemahnya
etos kerja
·
Terjadinya
feodalisme baru
·
Hilangnya
budaya malu pada bangsa ini.
2.1.1 Nilai Sosial Budaya
Indonesia
Nilai itu adalah gabungan semua unsur
kebudayaan yang dianggap baik/buruk dalam suatu masyarakat, karena itu pula
masyarakat mendorong dan mengharuskan warganya untuk menghayati dan mengamalkan
nilai yang dianggap ideal itu.
Dilihat dari segi waktu, menurut
Clyde Kluckhohn, “nilai agak abadi, yang dengan demikian nilai merupakan suatu
standar yang mengatur serta mengelola sejumlah sistem kelakuan”.
Preferensi nilai terletak pada hal-hal yang lebih
disukai dan dianggap terbaik tentang relasi sosial yang harus dilakukan
seseorang termasuk ikhtiar untuk mencapainya (Garna, 1996: 169). Menghadapi
situasi yang tertentu, seseorang dalamkehidupan bermasyarakat sering kali
dihadapkan kepada pilihan tentang apa dan bagaimana untuk bertindak dan
berlaku, yang lebih jauh dalam dirinya ditentukan oleh kesadaran terhadap
standar atau prinsip yang tersedia dalam lingkup kebudayaannya.
Dalam masyarakat dapat dilihat sebagai
suatu organisasi sosial yang kompleks yang terdiri atas nilai-nilai dan
norma-norma, pranata-pranata dan aturan-aturan untuk mewujudkan tindak laku,
yang secara bersama-sama dimiliki oleh para warga masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan disorganisasi sosial adalah adanya kenyataan
bahwa tidak setiap warga masyarakat mengetahui dan menyetujui seluruh
norma-norma ideal (yang dianggap baik menurut ukuran kebudayaan yang berlaku)
dalam mewujudkan tingkah laku, sehingga masyarakat sebagai suatu organisasi
sosial berada pada suatu kondisi yang memperlihatkan adanya disorganisasi
sosial.
Ketidaksetujuan warga masyarakat atas
tingkah laku yang seharusnya diwujudkan (berdasarkan norma ideal) dalam
kehidupan sosial, terutama disebabkan oleh adanya konflik dalam nilai-nilai
yang mereka punyai, yang nilai-nilai ini menyelimuti dan mewarnai norma-norma
yang ada pada mereka. Perbedaan yang ada di antara warga masyarakat mengenai
nilai-nilai yang mereka punyai, antara lain adalah karena perbedaan dalam
pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para warga masyarakat yang disebabkan
oleh perbedaan yang mereka punyai dalam pengalaman. Pengalaman mereka dalam
proses perubahan kebudayaan dan sosial yang berlaku dalam masyarakat mereka.
Perubahan nilai yang terjadi di dalam
masyarakat tidak terlepas dari adanya kecenderungan situasi yang dihadapi
masyarakat Indonesia pada kurun waktu tertentu. Prosesnya antara lain
disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, baik karena pengaruh
yang terjadi didalam negeri (nasional) maupun regional dan global
(internasional). Perubahan nilai didalam masyarakat agraris ke masyarakat
industri masalahnya tidak bisa terlepas dari pengaruh perubahan yang menuju
pada gejala tumbuhnya masyarakat informasi.
Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap unsur-unsur perubahan nilai dapat bersumber dari aspek-aspek lain
dibidang sosial budaya, termasuk nilai-nilai dan sistem nilai di luar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sebagai hasil dari proses perubahan sosial
dan hasil proses pembangunan. Nilai budaya bangsa bisa dianggap statis atau
dinamis, yang tergantung pada pandangan dan sikap bangsa itu sendiri. Beberapa
nilai budaya yang cenderung mempengaruhi tingkat sosial budaya bangsa,
disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a.
Budaya santai
sebagai akibat pengaruh alam dan lingkungan tidak mendorong terwujudnya etos
kerja yang menghargai waktu, ketelitian, ketekunan, kesabaran dalam usaha, dan
ketabahan dalam mengalami kesulitan.
b.
Daya serap dan
persepsi warga masyarakat terhadap budaya asing yang tingkat kemajuannya
menunjukkan dorongan bagi masyarakat.
c.
Kecenderungan
tetap mempertahankan nilai budaya feodal, yaitu mentalitas priyayi dan
orientasi kepada status yang mementingkan gelar daripada kualitas manusia dan
yang menghambat daya kreativitas serta kemampuan pribadi yang amat diperlukan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
d.
Nilai budaya yang
meninggikan orang lain atas dasar senioritas belaka atau pangkat. Sikap ini
bertentangan dengan nilai keterbukaan dan kebenaran yang objektif.
2.1.2. Terdapat permasalahan pokok yang dihadapi oleh
masyarakat/bangsa Indonesia saat ini yaitu terdiri dari banyak faktor faktor
penyebab terpuruknya bangsa ini yaitu:
Faktor faktor etika dan moral yang
secara langsung maupun tidak langsung ditunjukan oleh para elit politik,seperti
pemerintah beserta birokrasinya (Presiden,Mentri,Gubernur, sampai ke
pemerintahan tingkat desa),para wakil rakyat (DPR/MPR/DPRD) ,penjaga keamanan
dan keutuhan bangsa (Militer,kepolisian) serta terahir adalah mentalitas
pengusaha Indonesia.
a.
Faktor
faktor budaya korupsi ,kolusi,dan nepotisme di kalangan pejabat Negara yang
semakin hari bertambah parah dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga
perbaikan sistem masyarakat sampai sistem kenegaraan bertambah sulit, karena
tanpa disadari perilaku KKN yang terjadi di kalangan pejabat ternyata
bertransformasi pada perilaku masyarakat.
b.
Faktor
faktor penegakan hukum dan peraturan yang setengah hati ,mungkin contoh riilnya
adalah tidak satupun masalah kewibawaan hukum dan peraturan dapat menyelesaikan
kasus kasus yang merugikan bangsa yang dilakukan oleh elit politik.
c.
Faktor
faktor ketimpangan ekonomi dan rendahnya mutu sosial bagi masyarakat, hal itu
terlihat dari kebijakan pemerintah yang selalu memberi “angin segar” bagi para
pengusaha multinasional (pemilik modal besar) dan kurang memperhatikan ekonomi
dan sosial masyarakat bawah baik dari kebijakan maupun dari pelayanan.
d.
Faktor
faktor pendidikan yang tidak dapat mencerahkan kehidupan bangsa dan Negara,
justru sebaliknya malah menciptakan para koruptor yang menjual harkat dan
martabat bangsa.
e.
Faktor
faktor kepemimpinan dan kepengikutan moral yang memang belum tumbuh dikalangan
para elit politik sekaligus masyarakat
2.2. Analisa tentang situasi
Birokrasi Indonesia yang kini sedang berlangsung
a. Dalam bidang kepegawaian/ aparatur
·
Korup
·
Santai
·
Tidak
inisiatif
·
Kurangnya
disiplin
·
Kurang
professional
b. Dalam bidang manajemen pelayanan
publik
·
Banyaknya
duplikasi
·
Diskriminatif
·
Tidak
independen
·
Struktur
terlalu panjang
·
Jabatan
fungsional tidak laku
·
Banyak
lembaga ekstra yang tidak efektif
c. Bidang manajemen kepegawaian
·
Perencanaan
lemah
·
Rekrutmen
lemah
·
Jabatan
non kompetensi
·
Disalokasi
pegawai
·
Diklat
hanya formalitas
·
Sistem
gaji salah
·
Tak
ada reward and punishment
d. Sistem tata kelola
·
Prosedur
berbelit
·
Sistem
manual
·
Banyak
peraturan yang sudah usang
·
Banyak
peraturan tumpang tindih
·
Sistem
peradilan buruk
e. Sistem kelola asset
·
Tidak
transparan
·
Tidak
ada standar baku
·
Sarana/prasarana
tidak memadai
·
Inventarisasi/Administrasi
·
Pemanfaatan
sarana tak optimal
·
Sarana/prasarana
tidak terpelihara
·
Ruislag
tidak transparan
2.2.1. Birokrasi Indonesia.
Perkembangan birokrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak
terlepas dari faktor kesejarahan. Apa yang dicapai birokrasi sekarang
inimerupakan perjalanan sejarah yang panjang, walaupun sejarah tidak pernah
berulang kembali, namun dengan menggunakan secara seksama fakta sejarah akan
diperoleh perhatian yang lebih tepat mengenai fakta yang kini ada. Sejarahpun
akan membantu persepektif masa depan., apa saja yang telah dilakukan oleh
administrasi public dapat terungkap melalui sejarah, sehingga kita dapat
melacak jejak birokrasi yang dilakukan oleh administrasi publik, mulai zaman
kerajaan yang masyarakatnya masih sangat sederhana, masa kolonial sampai dengan
setelahnya yang masyarakatnya yang lebih relative modern. Dengan analisis
sejarah, dapat dipelajari teknik analisis atau teknik pemecahan masalah yang
akan menunjukan bagaimana proses birokrasi berlangsung barsama-sama dengan
aspek masyarakat lainnya, sehingga timbul pertanyaan adalah apakah proses
semacam itu dapat diterapkan dalam bidang yang sama dimasa kini.
2.2.2. Birokrasi setelah masa kolonial
sampai dengan sekarang
Negara Indonesia tergolong Negara yang sedang berkembang masyarakatnya
sedang mengalami transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern
(maju). Bagi Indonesia yang sudah terlalu lama mengalami penjajahan. Kondisi
tersebut sangat mempengaruhi dalam birokrasi pemerintahan. Hal ini tercermin
dalam seleksi kenaikan pangkat, penerimaan pegawai, sampai dengan pelaksanaan
tugas dimana yang di utamakan adalah loyalitas individu kepada pimpinan dan
harus sesuai dengan pimpinan, bukan bagaimana kepentingan masyarakat diutamakan
sehingga the right man on the right place
tidak pernah tercapai. Demikian pula pengaruh kerajaan yang pernah ada dimana
aparatur Negara, pejabat Negara dianggap sebagai priyayi, serta ada budaya
sungkan terhadap atasan walaupun atasan melakukan penyimpangan.
Negara berkembang, seperti Indonesia termasuk dalam kategori masyarakat
transisional. Menurut Fred W. Riggs dalam pamudji masyarakat transisional
disebut dengan model masyarakat Prismatik (Prismatic
society), yaitu suatu masyarakat yang memiliki cirri –ciri tradisional atau
agrarian bersamaan dengan cirri-ciri modern atau industri, didalam masyarakat
prismatic terdapat sub model yang disebut sala.
Ciri-ciri atau sifat-sifat masyarakat prismatic adalah adanya heterogenitas
yang tinggi, formalism yang tinggi, dan overlapping.
Ciri yang pertama adalah tingkat heteregonitas yang tinggi yaitu suatu campuran
sifat-sifat masyarakat tradisional (fused
society), dan masyarakat modern (refracted society). Fused society adalah
menunjukan suatu fungsi dan diferensiasi lembaga, berbagai macam fungsi (politik,
ekonomi, sosial dan lain-lain) menyatu dalam satu lembaga, masyarakat ini
tersusun atas dasar hubungan kekeluargaan, kekerabatan dikepalai oleh seseorang
kepala suku yang mengemban barbagai macam fungsi, sekalipun akhirnya diserahkan
juga kepada pembantunya. Refracted society adalah kebalikan fungsi dan
difirensiasi kelembagaan, setiap lembaga mengemban fungsi khusus tertentu, jadi
sekian banyak fungsi dalam masyarakat diimbangi dengan sekian banyak lembaga.
Di dalam cirri pertama ini fungsi administrasi yang semula dilaksanakan atas
dasar hubungan kekeluargaan tetap dilanjutkan, tetapi secara
semvbunyi-sembunyi, sementara itu disusun struktur jabatan kantor yang baru
guna menggantikan organisasi atas dasar kekeluargaan, dan sepantasnya disiapkan
norma-norma untuk dipatuhi. Walaupun kenyataannya norma tersebut diabaikan,
jabatan dalam administrasi Negara dijabat oleh orang-orang atas dasar norma
yang bersifat universalistic tetapi kenyataannya diam-diam diisi oleh
orang-orang yang punya hubungan keluarga, hal ini merupakan satu cirri dalam
pengadaan model sala. Ciri kedua dari masyarakat prismatic adalah tingkat
formalism yang tinggi yaitu tingkat ketidak sesuaian (discrepancy) atau tingkat
kongkruensi (congruence) antara apa yang telah dituliskan sebelumnya secara
formal dengan apa yang dipraktikkan atau ditindak secara riil, antara
norma-norma dan kenyataan atau realita. Semakin besar kongkruensi keadaan
semakin realistis, sedangkan semakin besar ketidak sesuaian semakin lebih
formalistis. Ciri ketiga adalah terdapat overlapping, artinya struktur-struktur
yang telah dideferensiasikan dan dispesialisasikan secara formal ada
berdampingan dengan struktur-struktur yang belum dideferensiasikan. Didalam
cirri ketiga ini antara keluarga dan kantor terjadi dimana pengaruh keluarga
mengatasi pelaksanaan fungsi dinas atau kantor sedemikian rupa sehingga hukum
atau peraturan dilaksanakan secara seenaknya terhadap keluarga, sebaliknya
sekeras-kerasnya terhadap pihak diluar keluarganya, kepentingan keluarga lebih
tinggi daripada kepentingan jawatan, pemerintah, bahkan kepentingan Negara.
Pengelompokan atas dasar keluarga menimbulkan solidaritas kelompok, yang
didasarkan atas nama etnis, agama, ras, partai dan sebagainya. Dampaknya dalam
administarsi public adalah kantor pemerintah (administrasi public) pada
prinsipnya menerapkan hukum dan peraturan secara objektif dan tidak memihak
terhadap semua warga masyarakat, tetapi dalam prakteknya terdapat diskriminasi
yang menguntungkan kelomponya dan merugikan pihak lain. Diskriminasi ini
kemudian menjalar kepengadaan pegawai, dimana dikaitkan dengan nepotisme,
praktik dalam sala selalu mengutamakan anggota yang dominan. Alternatif lain
dipakai sistem jatah (quota) diantara kelompok yang ada, sehingga satu
organisasi administrative dikemudikan oleh beberapa kelompok, yang dalam
keadaan yang ekstrim mungkin menyebabkan tidak adanya semangat kerja sama
diantara kelompok dengan kelompok lain yang saling bersaingan, akibatnya
administrasi public tidak efesien.
Birokrasi pemerintah sering kali
diartikan officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya
adlah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern.
Didalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang
mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka dalam area official
yang yurisdisksi, didalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan
tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas kewenangan
pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan
dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Mereka memperoleh gaji berdasarkan
keahlian dan kompetensinya.
Pejabat
adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan,
kekuasaan pejabat ini amat menentukan, karena segala urusan yang berhubugan
dengan jabatan itu ditentukan oleh orang yang berada dalam jabatan tersebut.
Jabatan itu disusun dalam tatanan hierarki dari atas kebawah. Jabatan yang
berada atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibanding jabatan yang berada ditataran bawah, semua
jabatan itu lengkap dengan fasilitas yang mencerminkan kekuasaan tersebut.
Diluar hierarki kerajaan pejabat dan jabatanitu terhampar rakyat yang powerless
dihadapkan pejabat birokrasi tersebut, itulah sebabnya birokrasi pemerintah
sering kali disebut kerajaan pejabat yang jauh dari rakyatnya.
III.
PEMBAHASAN
“Budaya
adalah ciri khas bangsa, apabila budayanya rusak maka bangsa itu juga menjadi
rusak”
3.1. Masalah
keterpurukan bangsa
Didalam pembahasan, Masalah
keterpurukan bangsa maka jalan keluar untuk mengatasinya diantaranya melalui
revitalisasi kebudayaan dan reformasi birokrasi.
3.1.1. Revitalisasi kebudayaan
Indonesia
Kata “Kebudayaan” berasal dari
(bahasa sansakerta) buddayah, yang
merupakan bentuk jamak kata buddhi,
yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal. Seorang antropolog, yaitu E. B. Tylor
(1924: 1) memberkan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut :
“Kebudayaan adalah hal kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat,
dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Dengtan lain perkataan, kebudayaan mencakup
kesemuanya yang didapat atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari oleh
pola-pola perilaku yang normative, artinya mencakup segala cara-cara atau
pola-pola berpikir merasakan dan bertindak”
Revitalisasi
kebudayaan menurut Turmudzi (materi kuliah) adalah : “Kesadaran penuh untuk
membangun peradaban menyeluruh atas kehidupan yang berorientasi pada
prisip-prinsip keadilan dan kesejahteraan umat manusia”.
Manusia
melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa
perencana, aturan, resep, dan intruksi yang digunakannya untuk mengatur
terwujudnya tingkah laku dan tindakan tertentu (Greetz, 1973). Dalam pengertian
ini, kebudayaan befungsi sebagi “alat” yang paling efektif dan efesien dalam
menghadapi lingkungan.
Kebudayaan
bukanlah sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh melalui
proses belajar dari lingkungan, baik lingkugan alam maupun lingkungan sosial.
Dengan kata lain, hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijmbatani oleh
kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi ini kebudayaan dapat dikatakan
bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri
pada kebutuhan fisiologis dari mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang
bersifat fisik geografis maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak
kebudayaan bertahan malah berkembang menunjukan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang
dikembangkan oleh suatu masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
tertentu dari lingkungannya. Ini tidak mengherankan, karena kalau sifat-ifat budaya
tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinkan masyarakat
untuk bertahan akan bekurang.
Sebagaimana
kebudayaan itu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan
kebutuhan-kebutuhan biologis, kebudayaan juga merupakan hasil dan sarana untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan sosial. Perubahan-perubahan ekonomi dan
kesempatan dalam bidang sosial merangsang munculnya bentuk-bentuk kelakuan baru
yang memecahkan masalah-masalah baru, kemudian bias menjadi pola-pola yang
secara berulang terwujud dan pada akhirnya menjadi milik bersama. Pola-pola
kelakuan, norma-norma, dan aspirasi-aspirasi terwujud dalam melakukan adaptasi.
Dengan demikin dapat dikatakan bahwa adanya kebudayaan bermula pada adanya
respon-respon terhadap situasi, seperti kondisi ekonomi, sosial, dan kondisi
lainnya.
Kebiasaan
atau kelakuan yang terpolakan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan
penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu
bukan bnerarti mewakili cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat
lain dalam kondisi yang sama. Dengan kata lain, masyarakat manusia yang
berlainan mungkin akan memilih cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap
keadaan yang sama. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keanekaragaman budaya.
Salah
satu upaya untuk mengurangi atau mengatasi dampak negative dari perubahan
sosial budaya adalah dengan cara menggali, mengkaji serta membina dan
mengembangkan kembali nilai-nilai luhur dalam kebudayaan Indonesia, mengingat
arus pengaruh, baik berupa unsur-unsur kebudayaan dari luar maupun pengaruh
pembangunan sudah semakin besar dan semakin intensif.
Konsep
budaya yang paling awal berasal dari E.B. Tylor (J.Murry, 1871) yang
mengemukakan sebagai berikut : “Kebudayaan ialah suatu keseluruhan kompleks
yang mengandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan, hukum adat
istiadat dan kemampuan lainnya, serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat”.
“Kebudayaan atau budaya ialah
(1) cara menyeluruh dari kehidupan suatu masyarakat,(2) legalitas sosial yang
diperlukan individu dari kelompoknya, (3) suatu cara berpikir merasakan dan
mempercayai sesuatu, (4) abstraksi dari tingkah laku, (5) suatu teori tentang
cara bagaimana suatu kelompok manusia dalam kenyataannya bertingkah laku, (6)
suatu simpanan dari tingkah laku yang dipelajarinya, (7) suatu perangkat
orientasi yang distandardisasi guna pengulangan masalah, (8) tingkah laku yang
dipelajari, (9) suatu mekanisme bagi pengaturan normative dari tingkah laku, (10)
sejumlah satuan atau perangkat teknis untuk menyesuaikan dengan lingkungan luar
dan orang lain, (11) serta suatu percepatan sejarah atau pengulangan sebagai
suatu matriks, peta, menepis atau membandingkan”. (kluckhuhn, 1950).
Kroeber (dalam Anthropology,
1948) “menganggap kebudayaan itu memiliki sifat-sifat yang “superorganik” yang
bentuknya lebih dari individu atau “organik”. Artinya, kebudayaan dijalankan
oleh seseorang , tetapi bentuknya tak ditentukan oleh individu tertentu,
misalnya bahasa akan mati apabila semua bangsa memakai bahasa itu semuanya
musnah karena bahasa itu akan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya
sebagai “superorganik”.
“Pendirian dan dalam melihat
falsafah Negara tampaknya pertentangan yang timbul hal ini tak perlu terjadi.
Apabila dalam mengacu pada konsep budaya, maka dasar falsafah Negara ialah
suatu konsensus nasional yang seharusnya menjadi landasan bagi seluruh tingkah
laku dan pergaulan di antara sesama warga Negara Indonesia di dalam hubungan
mereka satu sama lainnya” (Nasikun,
1984).
“Kebudayaan, menurut
Koentjaraningrat , mencakup konsep yang luas sehingga untuk kepentingan
analisis, konsep kebudayaan ini perlu dipecah lagi kedalam unsur-unsurnya.
Unsur-unsur yang terbesar terjadi karena pecahan tahapan pertama disebut
unsur-unsur kebudayaan yang universal dan merupakan unsur-unsur yang pasti bias
didapatkan disemua kebudayaan didunia, baik yang hidup dalam masyarakat
pedesaan yang kecil dan terpencil maupun dalam masyarakat kota yang besar dan
kompleks. Unsur-unsur universal itu merupakan isi dari semua kebudayaan yang
ada didunia, yaitu (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan
organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian,
(6) sistem mata pencaharian hidup, serta (7) sistem teknologi dan peralatan.”
Ketujuh
unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi kedalam sub-sub
unsur. Demikian, ketujuh unsur kebudayaan universal tadi memang mencakup
seluruh kebudayaan mahluk manusia dimanapun juga didunia dan menunjukkan ruang
lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Mengenai wujud kebudayaan Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan
itu mempunyai paling sedikit tiga wujud.
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.
Apabila konsep dari Selo
Soemardjan sebagaimana dikemukakan terdahulu dan pendapat Koentjaraningrat
dijadikan pedoman, maka :
Dapat dinyatakan bahwa tiap suku
bangsa akan menghasilkan kebudayaan dan oleh karena suku bangsa di Indonesia
beragam, maka akan ditemui keragaman kebudayaan Indonesia. Keragaman yang
ditemukan itu bukan terletak pada unsur kebudayaan, tetapi pada raga kebudayaan
itu. Misalkan saja unsur-unsur kebudayaan, seperti kesenian, bahasa, sistem pengetahuan,
sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem
teknologi dan peralatan akan dijumpai pada setiap suku bangsa.
Dalam hal bahasa misalnya, ditemukan
keragaman bahasa dan secara umum hanya dapat dimengerti oleh suku bangsa itu.
Ada bahasa Sunda, Madura, Bali, Sangir, Minahasa, Batak, Jawa, Minangkabau
(Padang), Makassar, Bugis, dan seterusnya.
Dalam
perjalannan kehidupan masyarakat Indonesia maka juga harus diterima dalam
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk ini akan adanya tiga golongan
kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri. Ketiga golongan
tersebut adalah sebagaiu berikut.
a.
Kebudayaan
suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan
daerah).
b.
Kebudayaan
umum lokal.
c.
Kebudayaan
Nasional.
Setiap kebudayaan tersebut bukan
hanya menjadi corak dari berbagai situasi ytang secara keseluruhan merupakan
suasana kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang dapat digolongkan sebagai
suasana suku bangsa, suasana umum lokal dan suasana nasional, kebudayaan itu
digunakan oleh orang Indonesia dengan penggolongan dan pola interaksi yang
dihadapi dan untuk kerangka acuan (referensi) bagi identitas sesuai dengan pola
interaksi yang terlibat didalamnya.
Suasana
umum lokal merupakan perwujudan dari kegiatan kehidupan dari para warga sesuatu
bagian masyarakat, yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari satu suku bangsa
sehingga kegiatan-kegiatan tersebut berlandaskan atas pranata-pranata sosial
yang berdasarkan atas kebudayaan suku-suku bangsa yang berlaku setempat serta
dalam beberapa hal juga dipengaruhi oleh kebudayaan nasional.
3.2. Pembangunan dan Kebudayaan
Untuk
memacu upaya peningkatan kesejahteraan penduduk dalam waktu relative singkat,
tidak ada pilihan lain bagi masyarakat Indonesia untuk mengambil alih dan
menerapkan teknologi canggih yang berhasil mengubah sistem produksi utama.
Karena itu, industrialisasi menjadi kenyataan yang tidak dihindari dalam upaya
penyediaan barang-barang dan jasa kebutuhan hidup secara massal.
Namun,
penerapan teknologi canggih dalam industrialisasi menuntut pengembangan
kebudayaan disamping kebutuhan akan modal yang besar, organisasi yang intensif
serta tenaga kerja yang terampil dan ahli. Oleh karena itu, tanpa disadari,
masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami pergeseran faktor nilai budaya
dan perkembangan pranata sosial dari masyarakat industry yang berkeseimbangan
(Equilibrious society) menuju kesenjangan (disequilibrious society).
Perkembangan industry itu perlu dicermati agar tidak menyimpang dari
kesepakatan nasional yang menuju pancasila sebagai satu-satunya azas
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana
diketahui dunia industry, menuntut pengusaha mengejar keuntungan materi
seketika dan sebesar-besarnya, hal itu pada gilirannya merangsang perkembangan
nilai-nilai yang sangat menghargai efesiensi dan produktifitas kerja. Karena
itu perangkat nilai budaya yang terkait dengan efesiensi dan produktifitas
terus berkembang seperti mengejar keberhasilan seseorang , penuh perhitungan,
dan melihat jauh kedepan.
Disamping
nilai-nilai budaya yang memang diperlukan sebagai rujukan untuk menghadapai era
globalisasi yang penuh dengan persaingan hidup, ada sejumlah budaya yang dapat
menimbulkan dampak negative bagi keseimbangan lingkungan dan masyrakat
Indonesia. Nilai-nilai yang sangat menghargai efisiensi dan produktifitas dalam
usaha sering kali mengarah pada penerapan teknologi canggih secara eksploitatif
dan ekspansif tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan
karena ada sementara anggota masyarakat yang mengabaikan kearifan lingkungan
dan daya dukung lingkungan dalam mengolah sumber daya dan memasarkan hasil
industry mereka untuk mendapatkan keuntungan materi sebesar mungkin.
Kecenderungan
industry seperti itu mempengaruhi sosial budaya masyarakat agraris yang
biasanya terikat kuat oleh tradisi yang sangat menghargai pola-pola
hubungan yang selaras, serasi, dan
seimbang denga lingkungannya. Tradisi itu biasanya dikukuhkan dengan
seperangkat nilai-nilai budaya dan faktor daya alam dan lingkungan. Mereka
tidak mudah bersaing memperebutkan sumber daya alam dan lingkungan. Akibatnya
dapat dirasakan betapa kesenjangan sosial, ekonomi, dan bahkan politik dalam
masyarakat terasa semakin dalam dan tajam.
Kesenjangan
perkembangan sosial budaya dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut
perlu ditanggulangi sedini mungkin dan berkelanjutan demi keutuhan bangsa dan
Negara, disamping meningkatkan daya saing meraka dalam menghadapi era
globalisasi yang penuh tantangan.
3.2.1. Pancasila sebagai etos
budaya bangsa.
Pengembangan
budaya nasional, baik sebagai lambing integrative, kesetaraan, maupun
modernisasi, sesungguhnya harus mencerminkan kepribadian yang dapat memberikan
kebanggaan dan membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa lain di
dunia. Pengembangan kebudayaan nasional juga harus dapat berfungsi sebagai
acuan bagi upaya pengembangan kelembagaan yang memiliki kekuatan penggerak
(Inperative power) serta penciptaan aturan-aturan sosial yang medukung
pengembangan kreatifitas pembaruan dan daya saing bagi masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian kebudayaan nasional dapat memenuhi fungsinya sebagai kerangka
acuan bagi segenap penduduk Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, daan bernegara secara tertib, leluasa dan efisien
disamping menjadi landasan pendidikan dasar dalam membentuk kepribadian bangsa.
Diluar lingkungan masyarakat Indonesia, kebudayaan nasional juga harus dapat
menjadi cirri pengenal yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan ia
dapat dapat berfungsi sebagai tolak ukur atau pembanding kesetaraan dalam
pegaulan antar bangsa.
Sesuai
dengan kesepakatan bersama, landasan pengembangan kebudayaan nasional adalah
nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tertuang dalam Pancasila. Pancasila
merupakan nilai-nilai inti (core values) yang membentuk konfigurasi yang saling
terkait dan melengkapi sehingga menjadi etos budaya bangsa. Kalau telah
dihayati oleh seluruh masyarakat, etos kebudayaan yang berintikan kelima nilai
luhur Pancasila akan berfungsi sebagai
kerangka acuan masyarakat untuk menghadapi tantangan jaman, baik yang berasal
dari dalam masyarakat Indonesia maupun yang berasal dari luar.
Adapun
tantangan dari dalam masyarakat yang
majemuk terutama disebabkan oleh faktor dinamika perkembangan sosial
yang bergerak dari masyarakat agraris yang berkesinambungan kea rah masyarakat industri
yang berkesenjangan yang dipacu oleh pesatnya kemajuan selama masa pembangunan
jangka panjang pertama. Komunis-komunis kecil yang semula relative tertutup dan
homogeny serta bertumpu pada hubungan antar respon (interpersonal relation)
kini terbuka dan terlibat dalam jaringan sosial yang lebih luas dengan
lingkungan kerabat yang dilandasi oleh hubungan kelembagaan (impersonal).
Perluasan jaringan itu sering kali menimbulkan masalah sosial yang tidak diduga
karena kuatnya ikatan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Belum lagi
terhitung kemungkinan timbulnya masalah sosial yang ditimbulkan oleh
meningkatnya intensitas pengaruh ekonomi pasar yang dibarengi dengan kegiatan
pengusaha kecil (penny capitalism). Dilkalangan masyarakat yang masih tertumpu
pada ekonomi substansi. Pergolakan sosial yang disertai kekerasan akhir-akhir
ini menunjukan betapa besarnya kebutuhan akan kebudayaan nasional yang
dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila sebagai acuan bersama dalam mencapai
kemajuan.
Disamping
meningkatkan intensitas dan perluasan jaringan sosial dan ekonomi pasar,
masyarakat Indonesia dimasa ini memerlukan kerangka acuan dalam menilai dan
menyerap informasi yang semakin deras melanda negeri. Selisih pendapat tentang
berbagai pesan dan informasi karena adanya perbedaan kerangka acuan yang
digunakan dalam masyarakat majemuk dapat menimbulkan masalah sosial yang
disertai kekerasan. Oleh karena itu, pengembangan kebudayaan nasional atas
dasar nilai-nilai luhur yang telah disepakati harus dilaksanakan secara
bersungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Etos
kebudayaan bangsa harus ditanamkan dan dikukuhkan dalam kelembagaan sosial dan
kebudayaan bangsa melalui proses pendidikan dalam arti luas (enculturasi) juga
harus dikembangkan dengan nilai-nilai budaya instrumental dan pengembangan daya
saing mengahadapi tantangan jaman secara teratur dan berkelanjutan. Etos
kebudayaan itu akan membentuk kepribadian bangsa (modal personality). Berbekal
kepribadian yang kuat yang berbasis pada nilai-nilai budaya luhur (Pancasila),
persatuan dan kesatuan bangsa akan lebih mantap tanpa mengorbankan kreatifitas
pembaruan dan era globalisasi.
Hal
itu dapat menjadi rujukan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia
Indonesia yang selalu terampil dan ahli dalam mengendalikan teknologi dan
organisasi modern serta mempunyai pandangan jauh kedepan, penuh perhitungan,
dan senantiasa mengejar kemajuan dalam mengahadapi persaingan ; mengembangkan
pranata sosial (sosial adaptation) yang mendukung pengembangan organisasi di
luar lingkungan kekerabatan dan kedaerahan dalam menghadapi tantangan secara
bertanggung jawab dan dalam mengejar kemajuan secara perorangan dan kolektif ;
menciptakan arena dan kondisi sosial yang mendukung pengembangan dan
kreatifitas pembaruan yang sejalan dengan pesatnya kemajuan dan penerapan
teknologi demi kesejahteraan penduduk dan seluruh umat manusia ; dan
mempermudah masyarakat memperluas jaringan dan meningkatkan intensitaspergaulan
antar sesame warga Negara dan antar bangsa dalam kesetaraan yang adil dan
beradab.
Harus
diakui bahwa upaya menanamkan dan mengukuhkan etos kebudayaan bangsa dalam
kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia yang majemuk bukanlah pekerjaan
yang mudah dan sederhana. Pekerjaan itu tidak dapat ditangani jika diposisikan
sebagai sambilan atau pelengkap dari suatu lembaga yang telah memiliki tugas
dan fungsi khusus. Untuk pendidikan kebudayaan, diperlukan sekurang-kurangnya
suatu lembaga pemerintah yang setingkat departemen sehingga dapat melaksakan
program pembangunan dibidang kebudayaan dalam arti luas.
Tahap Revitalisasi
Kebudayaan menurut Turmudzi (materi kuliah) adalah :
1.
Menciptakan
emansipasi diri yang berkesadaran penuh atas tugas dan tanggung jawab sebagai
seorang manusia Indonesia yang mempunyai nilai-nilai Illahiah.
2.
Menyaring dan
menyuling sumber-sumber daya masyarakat, dan mengubah penyebab kebobrokan dan
kemandegan menjadi kekuatan.
3.
Mengubah kesenjangan
sosial yang ada menjadi suatu kesadaran akan tanggung jawab sosial, dengan cara
memanfaatkan kekuatan manusia secara optimal.
4.
Menjembatani
kesenjangan antara massa kelas menengah (intelektual) dengan massa kelas bawah
(rakyat kebanyakan) dengan menjalin komunikasi dan hubungan kekeluargaan
(ukhuah) dan pemahaman diantara mereka, sehingga dengan demikian dapat
menempatkan Pancasila sebagai energy gerakan untuk kepentingan rakyat
kebanyakan.
5. Kita harus tetap bersandar pada budaya asli masyarakat
/ lokal (budaya lokal), karena akan memungkinkan kebangkitan dan kelahiran
kembali kemerdekaan budaya dalam menghadapi globalisasi.
6. Untuk melemahkan fungsi elit-elit politic (kelas atas)
yang merusak etika dan moral bangsa dan Negara ini, harus ada kesatuan antara
massa kelas menengah (intelektual) yang tercerahkan budi (hati) dan pekertinya
(pikiran) dengan massa kelas bawah (rakyat) dalam melumpuhkan anarkin ekonomi
dan sosial yang diciptakan elit-elit tersebut.
Strategi Revitalisasi kebudayaan menurut
Turmudzi (materi kuliah) adalah :
1.
Intelektual
kreatif
Mengkaji dan menegaskan kembali
sekaligus mensosialisasikan lagi Pancasila sebagai pemersatu bangsa yang harus
berhasil dalam membangun persatuan dan peradaban masyarakat Indonesia yang
kerkeadilan serta bebas dari kebobrokan.
2.
Pendidikan dan
kebudayaan.
Yang dimaksud adalah dengan membenahi
kerancuan-kerancuan daripada faktor pendidikan yang selama ini membuat
kemandegan dan keterasingan (kering) semangat pencerahan dalam dunia pendidikan
dan kebudayaan. Kita semua harus terlibat aktif dalam merangkai kembali
bingkai-bingkai peradaban muktahir dalam ajaran agama islam dari segi
pendidilan dan kebudayaan, dengan jalan menguatkan kembali keyakinan akan
keagungan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT.
3.
Propaganda.
Yang dimaksud adalah lewat peran
propaganda ini kita dapat mengkomunikasikan secara antusias dan progresif dalam
implementasi perubahan yang di inginkan dalam masyarakat Indonesia. Banyak cara
untuk mengusung propaganda ini di antaranya adalah melalui media massa, khutbah
atau pidato keagamaan, konferensi-konferensi ilmiah, kongres maupun seminar.
3.3.
Reformasi Birokrasi Indonesia
3.3.1.
Birokrasi dan fungsi pelayanan
Dalam
suatu Negara administrative, pemerintah dengan seluruh jajarannya biasa dikenal
sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Dalam bahasa yang sederhana peranan
tersebut diharapkan terwujud dalam pemberian sebagai jenis pelayanan yang
diperlukan oleh seluruh warga masyarakat.
Pemerintahan
di suatu Negara ditingkat nasional terdiri atas berbagai satuan kerja yang
dikenal dengan berbagai nomenklatur seperti kementrian, departemen, direktorat
jendral, badan biro, dan sebagainya, sebagian diantara mempunyai satuan-satuan
kerja diseluruh wilayah kekuasaan Negara, juga dikenal aparatur pemerintahan daerah
dengan aneka ragam nomenklatur pula seperti provinsi, kabupaten, kecamatan,
kelurahan dan desa. Keseluruhan jajaran pemerintahan Negara tersebut merupakan
satuan birokrasi pemerintahan yang juga dikenal dengan istilah cipil service.
Diantaranya berbagai satuan kerja yang teradapat dalam lingkungan pemerintahan,
terdapat pembagian tugas yang pada umumnya didasarkan prinsip fungsionalisasi.
Disoroti
dari segi pemberian pelayanan kepada masyarakat, fungsionalisasi berarti bahwa
setiap instansi pemerintah berperan selaku penanggung jawab utama atas
terselenggaranya fungsi tertentu dan perlu bekerja secara terkoordinasi dengan
instansi lain. Setiap instansi
pemerintah mempunyai “Kelompok pelanggan” (clientele groups). Kepuasan kelompok
pelanggan inilah yang harus dijamin oleh birokrasi pemerintah, antara lain :
kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan dibidang pendidikan dan pengajara
dilayani oleh instansi yang secar fungsional menangani bidang pendidikan dan
pengajaran, kelompok masyarakat yang termasuk kelompok produktif dan mencari
nafkah dengan bekerja bagi organisasi atua perusahaan menjadi “pelanggan” bagi
instansi yang mengurus ketenaga kerjaan, warga masyarakat yang ingin
meningkatkan kesehatan atau pengobatan menjadi pelanggan dari instansi yang
menangani kesehatan rakyat secara nasional, yaitu departemen kesehatan, para
industriawan, dan usahawan baik disektor riil atau formal maupun informal
menjadi pelanggan dari instansi yang menangani industri dan perdagangan dan
sebagainya. Jadi, pada dasarnya masyarakat ingin mendapatkan pelayanan yang
sesuai dengan harapannya , yaitu mengharapkan pelayanan yang cepat, bersahabat,
dan mudah tanpa prosedur yang berbelit-belit.
Pada
dasarnya pemerintah beserta jajaran aparatur birokrasi bukanlah satu-satunya
pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan
pembangunan nasional, tetapi merupakan kenyataan bahwa peranan pemerintah dan
seluruh jajarannya bersifat dominan. Pemerintah berfungsi antara lain untuk
menjabarkan strategi pembangunan nasional menjadi rencana pembangunan, baik
untuk kepentingan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Aparat
birokrasi pemerintah pulalah yang harus menciptakan iklim yang kondusif untuk
meningkatkan kepedulian dan pertisipasi berbagai kelompok masyarakat, bahkan
juga dalam mengalokasikan sumber daya dan dana tertentu, untuk menyelenggarakan
fungsi tersebut, birokrasi pemerintah harus menjadi intrumen yang andal,
tangguh, dan profesional, cirri-ciri tersebut berlaku bagi seluruh jajaran
birokrasi. Akan tetapi merupakan tuntutan kuat bagi mereka yang tergolong
sebagai elite birokrasi atau elite administrasi, artinya mereka mendapat
kepercayaan menduduki jabatan menejerial publik tingkat tinggi dan mengemban
misi pengabdian kepada kepentingan Negara dan bangsa. Oleh karena itu, elite administrasi
atau elite birokrasi harus mampu berperan selaku administrative policy makers
dan sebagai pelaksana keputusan politik yang telah dirumuskan dan ditentukan
oleh elite politik. Agar mampu menampilkan kinerja yang memuaskan, elite
administrative harus memelihara hubungan kerja yang bersifat kooperatif dengan
elite politik. Hubungan kerja yang serasi dan kerja sama yang harmonis
dikatakan mutlak.
3.3.2.
Birokrasi dan fungsi pengaturan
(regulatory functions)
Fungsi
pengaturan mutlak terselenggara dengan efektif karena kepada suatu pemerintahan
Negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai
peraturan-perundangan-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislative melalui
berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaan. Berbagai ketentuan
pelaksanaan dan kebijaksanaan tersebut dapat merupakan pemberian dan perluasan
kesempatan bagi warga masyarakat melakukan kegiatan tertentu, tetapi dapat pula
berupa pembatasan jika diyakini bahwa pembatasan tersebut adalah untuk kepentingan
rakyat secara keseluruhan.
Ketentuan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan pemerintah mungkin
berupa pembatasan, bentuknya dapat beraneka ragam. Kebijaksanaan demikian dapat
dibenarkan asal saja kriterianya adalah kepentingan bangsa dan Negara,
cakupannyapun dapat meliputi semua bidang kehidupan, misalnya jika para
investor asing hanya mau memanfaatkan kekayaan nasional, termasuk sumber daya
manusia, tanpa memberikan kontribusi kepada Negara seperti dalam bentuk alih
kemahiran manajemen, alih teknologi, dan penanaman kembali sebagian keuntungan
di Negara dimana perusahaan asing tersebut bergerak dan pajak, maka wajar
apabila pemerintah melakukan pembatasan. Contoh lain dibidang ekonomi adalah
pembatasan bagi produsen komoditi tertentu untuk mengurangi ekspornya ke luar
negeri apabila komoditi tersebut mempunyai nilai strategis dan sangat
diperlukan didalam negeri sendiri. Namun, berbagai kebijaksanaan yang bersifat
membatasi itu perlu dirumuskan dan ditentukan dengan sangat berhati-hati agar
jangan sampai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan berbagai
pihak lain dan agar tetap menjamin terlindunginya hak asasi para warga Negara.
Pada
dasarnya sering kali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik.
Pendekatan legalistik disini antara lain ialah bahwa dalam menghadapi
permasalahan pemecahan yang dilakukan, dengan mengeluarkan ketentuan normative
dan formal, misalnya peraturan dan berbagai peraturan pelaksanaanya. Hal yang
dapat timbul dengan pendekatan seperti ini tentunya tidak ada yang salah bila
aparatur pemerintah bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Akan tetapi pendekatan yang demikian menjadi tidak tepat apabila
terdapat persepsi bahwa peraturan perundang-undangan tersebut merupakan hal
yang self implementing seolah-olah dengan dikeluarkannya perundang-undangan
tersebut permasalahan yang dihadapi sudah terpecahkan dengan sendirinya,
padahal tidak demikian seharusnya, sehingga timbul kecenderungan untuk menerapkan
peraturan perundang-undangan tersebut secara kaku. Dalam praktik kekakuan
demikian dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah, padahal yang lebih
diperlukan adalah menegakan hukum dan peraturan itu dilihat dari semangat dan
jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan situasional.
Birokrasi
pemerintah bias berjalan dengan baik jika ada peraturan yanmg mengatur
keberadaan dan prosedur pelayanannya. Prosedur yang jelas dan transparan
penting tidak hanya bagi birokrasi tetapi juga bagi masyarakat sebagai pengguna
pelayanan dari birokrasi. Tanpa adanya permainan yang jelas birokrasi tidak
dapat bekerja secara efesien dan efektif. Pada sisi lain, aturan yang jelas itu
juga dapat melindungi masyarakat dari p[erilaku birokrasi yang sewenang-wenang.
Menurut Peter Al blau dan
Charles H. Page dalam Bintoro, “Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir
secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang.
Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai
tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengoordinasikan secara
sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Perhatian perlu dibrikan
dalam hubungannya dengan peranan birokrasi didalam suatu masyarakat yang
mengadakan perubahan kearah pembaruan. Birokratisasi dapat menjadi kekuatan
yang baik untuk pertumbuhan sebagai hasil pelaksanaan kegiatan yang efesien,
tatapi juga dapat menjadi alat yang menghambat perubahan. Dalam hal ini
birokrasi dapat berkembang kearah salah satu diantara kedua hal tersebut.
Birokrasi dapat menghambat perubahan sosial jika yang lebih menonjol adalah apa
yang disebut sikap “ritualis”.
Sikap
birokrasi disini adalaj mengembangkan standard an prosedur tata kerja dan
memperinci kewenangan secara detail, kemudian dijadikan sesuatu yang rutin dan
dilaksanakan secara ketat. Tidak ada tempat bagi sesuatu kebijaksanaan
administrative yang mungkin sedikit menyimpang tetapi memberikan pemecahan
masalah, melaksanakan kegiatan berdasarkan standar maupun aturannya menjadi tujuan,
dan bukan alat untuk mencapai sesuatu tujuan administrative. Sering kali hal
ini terkait erat dengan disiplin pelaksanaan kerja sesuai dengan wilayah
kewenangan masing-masing, karena para anggota birokrasi kemudian hanya
merupakan bagian dari mesin yang ketat, sering kali juga inisiatif dan gagasan
baru menjadi tumpul.
Keadaan
seperti ini akan tidak sesuai dengan kebutuhan proses sosial yang cepat atau
tidak memberikan dorongan bagi usaha perubahan dimana standar serta aturan
rutinnya itu sendiri perlu secar terus menerus disempurnakan.
3.3.3.
Birokrat sebagai unsur pembaruan.
Pemerintah
dengan seluruh jajarannya harus merupakan sumber ide-ide baru, keadaan
masyarakat yang semakin berkembang, tuntutan akan pelayanan semakin lama
semakin berkembang pula. Kondisi demikian menuntut aparatur p[emerintah harus
dapat memainkan peranan yang penting. Efesiensi dan efektifitas merupakan salah
satu prinsip manajemen yang harus selalu dipegang teguh, baik dalam rangka
pelaksanaan kegiatan rutin apalagi dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
Hal
ini penting karena pemerintah selalu dihadapkan kepada situasi kelangkaan
karena keterbatasan kemampuan menyediakan dana, daya, sarana, prasarana, sumber
daya manusia yang ahli, terampil dan keterbatasan waktu.
Peranan
aparatur dalam birokrasi pemerintahan sebagai unsure pembaru yang harus
memiliki kemampuan untuk mendesain strategi usaha berencana yang mendorong
kearah pembaruan dan pembangunan dalam berbagai kebijaksanaan atau dalam suatu
renccana maupun dalam realisasi pelaksanaannya. Juga kemampuannya untuk melihat
saling berkaitan dari berbagai segi yang perlu ditumbuhkan dengan tidak
kehilangan prioritasnya. Namun dalam realisasinya sering kali terjadi
inefesiensi yang dapat timbul karena faktor kelembagaan, procedural, kurangnya
keahlian dan keterampilan, serta karena perilaku negative para pelaksana.
Faktor kelembagaan dapat menjadi penyebab inefesiensi terutama jika tipe dan
struktur organisasi tidak tepat. Tipe organisasi yang biasanya digunakan dalam
lingkungan pemerintahan ialah dalam bentuk pyramidal dimana terdapat sejumlah
lapisan kewenangan yang pada umumnya berakibat pada lambatnya proses
pengambilan keputusan dengan demikian sering terjadi pemborosan waktu. Struktur
piramida ini seyogyanya ditinggalkan dan menggunakan struktur fungsional yang
lebih datar, seperti yang dilakukan oleh organisasi siswa.
Bentuk
hierarki pyramidal teklah ketinggalan dari realita jaman sekarang, oleh karena
itu jika birokrasi selalu ingin survive, birokrasi harus mau menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang selalu berubah. Organisasi masa depan tidak hanya
menempatkan diri pad kohorensi internal dan pemusatan kekuasaan, tetapi juga
memusatkan pada interaksi eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan
dengannya. Dengan demikian perlu adanya reformasi dalam birokrasi pemerintah
antara lain berusaha merubah sikap keterbukaan para pelakunya. Adalah hampir
tidak mungkin melakukan perubahan dan pembaruan prosedur dan aliran kerja
menjadi lancer, melakukan pembaruan pelayanan kepada masyarakat agar mampu
bersaing, tetapi menghalangi orang-orangnya untuk berkembang.
Birokrasi
yang tertutup dan centralized menghasilkan
kelangkaan keterbukaan didalamnya, oleh karena itu dalam upaya mereformasi
birokrasi pemerintah yang paling mendasar ialah bagaimana bias mengubah mindset dan perilaku dari para pelaku birokrasi publik.
Prosedur kerja yang tidak jelas atau rumit dapat menjadi sumber inefesiensi.
Prosedur demikian tidak hanya berakibat pada sulitnya melakukan koordinasi,
tetapi juga memungkingkan terjadinya duplikasi atau tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas, misalnya, karena tidak adanya uraian pekerjaan dan analisis
pekerjaan disamping prosedur yang adakalanya berbelit-belit padahal dapat
dibuat sederhana, dengan demikian maka diperlukan penyederhanaan pekerjaan
dalam pelaksanaan tugas-tugas sehingga efesiensi dapat tercapai.
Dalam
lingkungan pemerintah perlu ditingkatkan profesionalisme dan pengetahuan serta
keterampilan yang spesifik, antara lain melalui pendidikan dan latihan sebagai
instrument pemutakhiran. Profesioanalisme disini adalah keadaan dalam
pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu yang tinggi, waktu yang
tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh para clientele. Oleh karena itu diperlukan
pengetahuan yang mendalam tentang seluk beluk tugas dengan segala implikasinya
dan keterampilan yang memungkinkan para tenaga pelaksana bekerja dengan baik
karena dikuasainya berbagai segi teknis yang terdapat dalam setiap tugas
pekerjaan.
Didalam
suatu pembangunan dikehendaki suatu orientasi dan kemampuan untuk melaksanakan
tugas baru pemerintah, dan didalm perombakan serta penyempurnaan administrasi
harus pula memuat berbagai penyempurnaan dalam orientasi maupun administrasi
kepegawaian, untuk tujuan ini adalah membina suatu faktor karier pegawai yang
didasarkan atas prestasi dan kemampuan kerja. Oleh karena itu, dirasakan perlu
untuk memperluas sumber kepegawaian dengan keahlian yang diperlukan dalam
tugas-tugas pemerintah. Dalam hal ini dibutuhkan tenaga yang terlatih dan
kompeten untuk dapat melaksanakan pekerjaan pemerintahan. Peranan birokrasi
pemerintah harus dapat menempatkan diri sebagai entrepreneur langsung dalam
proses pembangunan, dengan demikian membutuhkan dengan sendirinya adanya sifat
entrerpreneur dalam kepegawaian.
Birokrasi
pemerintah sebagai entrepreneur memerankan diri sebagai pendorong, pengarah,
dan berusaha menggairahkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, perlu kiranya
dikembangkan orientasi pelayanan yang dapat merangsang kegairahan tersebut,
dimana aparatur birokrasi sebagai public
serevant.
Tidak
kurang penting adalah perlunya perubahan orientasi yang legalistis dan terikat
pada formalisme berubah kearah sikap pemecahan masalah. Dengan demikian adanya
perubahan peranan birokrasi pemerintah sebagai penggerak pembangunan. Kepatuhan
aparatur birokrasi pemerintah kepada hal yang bersifat legalistis bukanlah
kepatuhan yang bersifat seperti robot, tetapi bersifat situasional dan penuh
dengan dinamika, berarti disini dipelukan kreatifitas yang tinggi dalam
melaksanakan tugas pekerjaan. Peningkatan kreatifitas kerja hanya mungkin
terjadi apabila terdapat iklim yang mendorong par anggoat birokrasi pemerintah
mencari ide-ide dan konsep baru serta menerapkannya secara inofatif, terdapat
kesediaan pimpinan untuk memberdayakan para bawahannya antara lain melalui
partisipasi para bawahannya tersebut
untuk mengambil keputusan yang menyangkut pekerjaannya, mutu hasil pelaksanaan
tugasnya, kariernya, dan cara-cara yang dianggapnya paling efektif
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya ditempat pekerjaan. Dengan demikian
para pelaksana berprakarsa dalam
pelaksanaan tugas dan tidak hanya
bersifat menunggu perintah atau instruksi, baru melaksanakan tugas.
Indikator keberhasilan reformasi
birokrasi menurut Turmudzi (teori kuliah) adalah :
1. Berkurangnya praktek KKN.
2. Sistem pemerintahan sederhana, efisien, efektif.
3. Terhapusnya aturan tumpang tindih dan diskriminatif.
4. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam kebijakan
public.
5. Seluruh peraturan pusat dan daerah tidak bertentangan.
Keberhasilan
ini harus ditunjang dengan dibuatnya payung-payung hukum reformasi birokrasi,
diantaranya :
1. Undang-undang adm,inistrasi
pemerintahan
2. Undang-undang pelayanan public
3. Rencana Undang-undang etika
penyelenggaraan Negara
4. Rencana Undang-undang kementrian dan
kementrian Negara
5. Rencana Undang-undang kepegawaian Negara
Simpulan.
Pada
hakekatnya masalah keterpurukan bangsa ini tidak lepas dari masalah kemiskinan,
ketelantaran dan permasalahan sosial lainnya yang terjadi dilingkungan
masyarakat lokal. Untuk itu penangganan masalah sosial harus dibasiskan
masyarakat karena masyarakatlah yang paling tahu kondisi permasalahannya. Penangganan
permasalahan sosial yang sentralistik dan sektoral hanya mengakibatkan
masyarakat semakin tidak perduli terhadap masalah sosial yang berkembang
dilingkungannya.
Keanekaragaman
faktor sosial budaya di Indonesia harus dipahami sebagai potensi yang
pemanfaatannya belum optimal dalam proses pembangunan masyarakat. Padahal faktor
sosial budaya lokal merupakan modal sosial yang besar yang telah tumbuh
berkembang secara turun temurun yang hingga kini masih kuat berakar
dimasyarakat.
Aktualisasi
faktor sosial budaya lokal menjadi masahalah yang strategis untuk didiskusikan
kembali. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan keadaan di Indonesia yang berada
dalam proses demokrasi dan reformasi disegala bidang pembangunan. Ketika
Indonesia mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan,
strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat agaknya membutuhkan perubahan
yang sangat mendasar dari pendekatan yang caritis atau residual menjadi faktor
pemberdayaan masyarakat.
Strategi
pemberdayaan masyarakat berbasiskan faktor budaya lokal perlu diformasikan
secara tepat tanpa harus membuat pola-pola seragam seperti pada masa orde baru.
Karena itu pencanangan penanggulangan masalah kemiskinan atau permasalahan sosial
lainnya harus dibatasi sampai pada saat mobilisasi sosial atau penyadaran
(konsistensi masyarakat). Sementara itu proses pemberdayaannya harus
dilimpahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini pemerintah lebih
berperan sebagai fasilitator, mediator, faktor pendukung, pengakses sumber sosial,
dan peran-peran lain yang bersifat tidak langsung.
Organisasi
pemerintah pada umumnya dikatakan sebagai birokrasi, sedangkan yang memegang
peranan dalam dececien makin sehari-hari adalah para demorat. Oleh karena itu
para pejabat demokrasi harus mampu berpikir secara kompleks, sistematis,
rasional, dadalam menjalankan berbagai macam fungsi dan tugas Negara. Latar
belakang poendidikan akademis merupakan salah satu persyaratan utama dan
mendasar untuk pengadaan pegawai dan penempatan personil, terutama pada
jabatan-jabatan yang harus melakukan kalkulasi, perkiraan, planning, policy
formalition, dan dececion making. Namun dibalik itu tidak kalah pentingnya
adalah syarat-syarat kepribadian karena pada birokrat tersebut harus banyak
berhubungan dengan warga masyarakat artinya bahwa sidamping terampil dan
memiliki skill dalam tugas tetapi harus juga pandai “merakyat” dan mnelayani
masyarakat dengan penuh tanggung jawab tanpa pamrih atau tanpa perhitungan
untung rugi pribadi.
Sudut
pandang bahwa birokrasi merupakan sesuatu yang saklar yang mencerminkan
kekuasaan para pejabat birokrasi serta sulit ditembus oleh lapisan masyarakat
yang sering kali berada pada possisi yang lemah dihadapan kekuasaan birokrat
hal ini tentu saja sudut pandang tersebut perlu dirubah karena pada dasarnya
birokrasi adalah hanya alat dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat. Birokrat sebagai pelaksana birokrasi tidak hanya terpaku pada
aturan legalistic yang kaku saja, tetapi berorientasi yang dinamis utnuk
melaksanakan legal tersebut. Birokrat harus tanggap terhadap masalah-masalah
yang timbul dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat membawa tuntutan-tuntutan
yang membutuhkan jawaban jika jawabannya tidak sepadan dengan tuntutannya maka
akan membawa ketidakpuasan dalam masyarakat, oleh karena itu birokrat haruslah
mampu menjawab tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang.
Birokrasi
pemerintahan yang dilaksanakan oleh para birokrat harus selalu mengarah pada
kepentingan masyarakat. Kekuasaan yang selama ini berada pada tangan birokrat
haruslah beralih fokusnya pada masyarakat karena pada sesuatu yang terjadi dan
dibuat kebijakan oleh para birokrat bersumber dari aspirasi, kebutuhan, dan
kepentingan masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya dari masyarakat adalah para
biriokrat sadar dimana dia harus bertindak dan bersikap dengan mempergunakan
wibawa dan kekuasaan Negara, serta kapan dia harus bersikap sebagai pelayan dan
abdi masyarakat yang tidak boleh menunjukan sikap hanya main kekuatan dan
kuasa.
Saran-saran
Agar
bangsa Indonesia bisa kembali bangkit dari keterpurukan segala bidang maka
tidak ada jalan lain bangsa Indonesia harus kembali kepada falsafah hidupnya,
yaitu nilai-nilai luhur yang tercermin didalam sila-sila Pancasila dan kembali
kepada kebudayaan asli Indonesia yang terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan
daerah yang merupakan refleksi dari kebudayaan Bhineka Tunggal Ika. Untuk
kebangkitan masalah keterpurukan dari sisi penyelenggaraan Negara atau
birokrasi disamping kita tetap berpegang pada landasan ideologi Pancasila kita
berpegang teguh pada aturan-aturan konstitusi yang terkandung didalam
Undang-undang 1945 dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dan secara terus menerus
dan konsisten disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Masalah keterpurukan
bangsa disegala bidang bukan tanggung jawab pemerintah semata ini menjadi tugas
seluruh masyarakat Indonesia untuk memperbaiki dimulai dari pengembangan diri
pribadi baik secara lahir (ilmu pengetahuan, wawasan) maupun bathin ( religi,
kepekaan sosial dan kepekaan spiritual)
DAFTAR
PUSTAKA
Albrechts, Louis, Jeremy Alden, dan Artur Da Rosa
Pires (ed) (2001) The Changing
Institutional Landscape of Planning. England, Ashgate Publishing Ltd.
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi ( terjemahan Rusli
Karim ) Yogyakarta, Grafiti.
Anderson, James E. 1997. Public Policy Making ( Third Edition). Boston ; Houghton Mifflin
Company.
Angotti, Thomas.1993.Metropolis 2000, Planning, Poverty and Politics.New York,
Routledge.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002) Infrastruktur
Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis. Jakarta, Deputi Bidang Sarana dan
Prasarana Bappenas.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat
Statistik, United Nations
Population
Fund (2005) Projeksi Penduduk 2000-2005. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (2001) Penduduk Indonesia: Hasil
Sensus Penduduk Tahun 2000, Seri L-2.2, Jakarta, Indonesia
Badan Pusat Statistik (2004) Statistik Kesejahteraan
Rakyat 2004, Survei Sosial
Ekonomi
Nasional. Jakarta, Indonesia. Katalog BPS: 4101.
Bambang T. S. (2003) Perkembangan Ekonomi Kota-kota
Sebelum dan Pasca Krisis (1993-1999) dan Implikasi Pengembangannya, Working
Paper III. 2003. Jakarta, URDI.
Boediono- Wayan Koster;
2004; Teori Dan Aplikasi STATISTIKA dan PROBABILITAS, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Bridge, G. & W. Sophie
(2004) The Blackwell City Reader.
Oxford, Blacwell.
Burgess, E. W. (1925) The growth of a city: an introduction to a research project, in Robert
E. Park, Ernest W. burgess, and Rodrick D. McKenzie, The City. Chicago: University
of Chicago press. Pp. 47-62.
Cutlip, Scott M.-allen H.
Center- Glen M. Broom; 2006; Effective
Public Relations, Prenada Media Group, Jakarta.
Davis,Keith dan John W
Newstrom, 1996, Perilaku dalam Organisasi, edisi ke tujuh, alih bahasa: Agus
Dharma, Erlangga Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar